Langsung ke konten utama

SEBAB RUNTUHNYA MAJAPAHIT


Majapahit runtuh karena kemerosotan moral para bangsawan yg hobi foya foya korup dan gila kekuasan   sehingga timbullah perang saudara Adapun Islam datang itu untuk menyelamatkan moral putra bangsa

pada tahun 1478 kerjaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari kadipaten Kediri atau Kleling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri meneyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putera  Raja Majapahit yang terakhir.

Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan dilancarkan. Prabu Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara pada tahun 1498. Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Giri Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu udara kuatir jika terjadi peperangan akan menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta bantuan Portugis di Malaka.

Padahal putera mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun1511 telah menyerang Protugis. Sejarah telah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untu menemui Alfinso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta (ggamelan), sepotong kain panjang bernama “Beirami” tenunan kambayat, 13 batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta majapahit secara sah.

Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentunya bangsa Portugis akan menjajah Tanah Jawa jauh lebih cepat daripada Bangsa Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk mahkota rajanya. Raden Patah diangkat sebagai raja Demak yang pertama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teks Khutbah Nabi Muhammad Pada Haji Wada

خطبة النبي صلى الله عليه وسلم في حجّة الوداع الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره, ونتوب اليه, ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا. من يهد الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له. وأشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أوصيكم عباد الله بتقوى الله, وأحثكم على طاعته, وأستفتح بالذي هو خير. أما بعد, أيها الناس, اسمعوا مني أبيّن لكم, فاني لا أدري لعلي لا ألقاكم بعد عامي هذا في موقفي هذا. أيها الناس, ان دماءكم وأموالكم حرام عليكم الى أن تلقوا ربكم كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا, ألا هل بلّغت؟ اللهم فاشهد. فمن كانت عنده أمانة فليؤدها الى من ائتمنه عليها. ان ربا الجاهلية موضوع, وان أوّل ربا أبدأ به ربا عمّي العباس بن عبد المطّلب, وان دماء الجاهلية موضوعة, وأول دم أبدأ به دم عامر بن ربيعة بن الحارث, وان مآثر الجاهلية موضوعة غير السّدانة والسّقاية, والعمد قود, وشبه العمد ما قتل بالعصا والحجر, وفيه مائة بعير. فمن زاد؛ فهو من أهل الجاهلية. أيها الناس, ان الشيطان قد يئس أن يعبد في أرضكم هذه, ولكنّه قد رضي أن يطاع فيما سوى ذلك م

Petilasan Keraton Pajang, Cagar Budaya yang Terlupakan

Memasuki Jl. Joko Tingkir, Gang Benowo II Sonojiwan RT 5/RW 22 Makam Haji, Kartosuro, Sukoharjo, terdapat sebuah plakat yang menunjukkan lokasi berjarak seitar 100 meter dari jalan raya. Lokasi ini adalah Petilasan Keraton Pajang. Kerajaan Pajang runtuh seiring berdirinya Mataram. Bekas fisiknya nyaris tak terlihat karena termakan usia. Tak ada sisa beteng, bekas bangunan atau semacamnya yang menggambarkan perjalanan fisik Keraton Pajang selama ratusan tahun. Yang masih tersisa dari Keraton Pajang hanyalah sisa-sisa kayu yang dahulunya merupakan getek atau rakit yang pernah dinaiki Joko Tingkir saat melawan buaya. Kemudian sebuah batu yang dulunya menjadi tempat bersemadi dan sebuah sendang yang airnya selalu jernih meskipun terletak di pinggir sungai yang keruh dan kotor. Konon air sendang ini dipercaya dapat menyembuhkan penyakit jika air ini dipakai untuk mandi atau cuci muka. Di sini juga masih terdapat beberapa artefak peninggalan masa lalu. Pendapa Agung Petilasan Keraton Pa

kirab kebo bule 1 suro dalam pandangan sejarah

Dalam pendekatan periodisasi sejarah, kirab kebo bule ditengarai hadir semasa Paku Buwono (PB) VI pada abad XVII. PB VI merupakan raja surakarta yang dianggap memberontak kekuasaan penjajah Belanda dan sempat dibuang ke Ambon. Dalam peringatan naik takhta, sekaligus pergantian tahun dalam penanggalan Jawa malam 1 Sura, muncul kreativitas menghadirkan sosok kebo bule sebagai simbol perlawanan terhadap belanda. Kalau dirunut waktu kejadian, bahwa PB VI memerintah tahun  1823  –  1830 dan jika melihat hubungan dekatnya dengan pangeran diponegoro bisa jadi kirab itu bertujuan untuk memobilisasi rakyat untuk persiapan perang jawa.