Langsung ke konten utama

OLAHRAGA MEMANAH JAMAN MATARAM ISLAM


Tidak ada dokumen yang mengulas dan menunjukkan secara detail bagaimana prosesi olahraga memanah pada masa itu. Namun dari penuturan masyarakat sekitar secara turun-menurun, dapat digambarkan sebagai berikut :


Pada masa Panembahan Hanyokrowati (1611), kondisi geografisnya masih berupa hutan belukar, meskipun bukan hutan yang sangat lebat. Raja dan pengawalnya dengan mengendarai kuda memasuki semak belukar tersebut untuk memburu kijang yang berkeliaran. Setelah sampai di tempat tertentu, para pengawal turun dari kuda, kemudian berusaha menggiring kijang/binatang buruan ke tempat tertentu dengan suara-suara supaya mudah untuk dibidik.

Jika pada masa Panembahan Hanyokrowati, berburu binatang dilakukan pada pagi hari, tetapi pada masa Sultan Hamengkubuwana ini diselenggarakan pada waktu menjelang sore hari (mungkin sekitar jam 14.00 atau 15.00 sampai waktu Maghrib). Raja dan rombongan para bangsawan keraton naik ke atas bangunan Panggung Krapyak lewat tangga di sisi Barat Laut hingga ke lantai dua bangunan ini, menghadap ke arah selatan.

Disamping rombongan dari Keraton Yogyakarta kemungkinan diundang pula para bangsawan dari Kerajaan-Kerajaan sahabat, bahkan juga hadir para pejabat dari Pemerintah Kolonial. Kemudian kijang-kijang hasil penangkaran diambil dari “hutan janganan” dari pagar keliling bambu anyaman yang dinamakan “krapyak”, yang berada di sebelah selatannya dan dilepaskan pada jarak tembak anak panah dari atas bangunan, diiringi dengan gamelan yang ditempatkan dilantai bawah bangunan, para pemanah yang terdiri dari para bangsawan segera membidik kijang-kijang tersebut, dan Raja akan memberikan hadiah khusus pada kijang tertentu yang dijadikan “maskot” pada olah raga memanah kijang tersebut.

Kijang yang terkena anak panah dibawa ke bawah bangunan itu juga dan dimasak di tempat tersebut oleh para juru masak keraton yang ikut serta dalam rombongan, kemudian di selenggarakan semacam pesta “barbeque” dengan menu utama daging kijang hasil buruan. Diiringi dengan musik gamelan yang terus mengalun dan juga mungkin dengan menghadirkan para penari keraton, maka pesta berburu itu semakin nampak meriah dan tentu saja sangat disukai oleh para bangsawan keraton dan tamu undangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teks Khutbah Nabi Muhammad Pada Haji Wada

خطبة النبي صلى الله عليه وسلم في حجّة الوداع الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره, ونتوب اليه, ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا. من يهد الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له. وأشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أوصيكم عباد الله بتقوى الله, وأحثكم على طاعته, وأستفتح بالذي هو خير. أما بعد, أيها الناس, اسمعوا مني أبيّن لكم, فاني لا أدري لعلي لا ألقاكم بعد عامي هذا في موقفي هذا. أيها الناس, ان دماءكم وأموالكم حرام عليكم الى أن تلقوا ربكم كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا, ألا هل بلّغت؟ اللهم فاشهد. فمن كانت عنده أمانة فليؤدها الى من ائتمنه عليها. ان ربا الجاهلية موضوع, وان أوّل ربا أبدأ به ربا عمّي العباس بن عبد المطّلب, وان دماء الجاهلية موضوعة, وأول دم أبدأ به دم عامر بن ربيعة بن الحارث, وان مآثر الجاهلية موضوعة غير السّدانة والسّقاية, والعمد قود, وشبه العمد ما قتل بالعصا والحجر, وفيه مائة بعير. فمن زاد؛ فهو من أهل الجاهلية. أيها الناس, ان الشيطان قد يئس أن يعبد في أرضكم هذه, ولكنّه قد رضي أن يطاع فيما سوى ذلك م

Petilasan Keraton Pajang, Cagar Budaya yang Terlupakan

Memasuki Jl. Joko Tingkir, Gang Benowo II Sonojiwan RT 5/RW 22 Makam Haji, Kartosuro, Sukoharjo, terdapat sebuah plakat yang menunjukkan lokasi berjarak seitar 100 meter dari jalan raya. Lokasi ini adalah Petilasan Keraton Pajang. Kerajaan Pajang runtuh seiring berdirinya Mataram. Bekas fisiknya nyaris tak terlihat karena termakan usia. Tak ada sisa beteng, bekas bangunan atau semacamnya yang menggambarkan perjalanan fisik Keraton Pajang selama ratusan tahun. Yang masih tersisa dari Keraton Pajang hanyalah sisa-sisa kayu yang dahulunya merupakan getek atau rakit yang pernah dinaiki Joko Tingkir saat melawan buaya. Kemudian sebuah batu yang dulunya menjadi tempat bersemadi dan sebuah sendang yang airnya selalu jernih meskipun terletak di pinggir sungai yang keruh dan kotor. Konon air sendang ini dipercaya dapat menyembuhkan penyakit jika air ini dipakai untuk mandi atau cuci muka. Di sini juga masih terdapat beberapa artefak peninggalan masa lalu. Pendapa Agung Petilasan Keraton Pa

kirab kebo bule 1 suro dalam pandangan sejarah

Dalam pendekatan periodisasi sejarah, kirab kebo bule ditengarai hadir semasa Paku Buwono (PB) VI pada abad XVII. PB VI merupakan raja surakarta yang dianggap memberontak kekuasaan penjajah Belanda dan sempat dibuang ke Ambon. Dalam peringatan naik takhta, sekaligus pergantian tahun dalam penanggalan Jawa malam 1 Sura, muncul kreativitas menghadirkan sosok kebo bule sebagai simbol perlawanan terhadap belanda. Kalau dirunut waktu kejadian, bahwa PB VI memerintah tahun  1823  –  1830 dan jika melihat hubungan dekatnya dengan pangeran diponegoro bisa jadi kirab itu bertujuan untuk memobilisasi rakyat untuk persiapan perang jawa.